Minggu, 11 November 2012

MADING-CERPEN


 DAGING QURBAN
Hari itu bertepatan tanggal 8 Dzulhijah, itu berarti dua hari lagi akan berlangsung Idul Adha atau hari raya haji yang biasanya ditandai dengan adanya qurban. Namun, tak sepeserpun Mai (begitu ia akrab disapa) memegang uang untuk persiapan lebaran itu. Anak-anaknya merengek ingi dibelikan baju baru seperti teman-temannya yang lain sudah memamerkan kepadanya.
            Di zaman yang serba sulit seperti sekarang ini jangankan mau beri barang-barang mewah, untuk makan saja susah. Hal ini yang dialami Maisaroh janda tiga anak yang ditingal kawin suaminya. Sejak setahun yang lalu ia ditinggal suaminya dan tak ada niat dalam dirinya untuk kawin lagi, yanga ada dalam benaknya hanyalah mengurusi anak-anaknya yang masih kecil. Ia selalu berfikir bagaimana badannya agar tetap sehat supaya dapat terus bekerja untu membeli makan kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil itu.
            Hari semakin dekat dengan lebaran, Mai makin gelisah sampai-sampai tak bisa tidur melihat anak-anaknya yang tertidur pulas. Pukul tiga pagi ia terbangun dari tidur yang sekejap dan mengerjakan shalat tahajud tak lelah ia menadakkan tangan berdo’a pada yang kuasa di malam yang dingin itu, ia memohon agar terhindar dari kesusahan yang dialaminya, kemudian ia berniat untuk berpuasa. Dilihat beras dalam karung hanya cukup untuk makan satu orang dewasa, ia berpikir kalau beras itu dimasak untuk makan sahurnya maka esok anaknya akan kelaparan dan iapun hanya sahur dengan segelas air putih.
            Sudah tiba hari yang ditunggu-tunggu, dimana orang yang berkecukupan berqurban untuk kaum yang fakir dan miskin. Mai sudah mendapatkan kupon untuk pembagian daging qurban yang akan dibagikan hari itu. Ia sangat senang, sudah tersusun rencana dalam benaknya hari ini ia akan memasak enak untuk anak-anaknya yang memang tidak pernah merasakan makan enak. Selesai melaksanakan shalat Ied semua warga miskin berkumpul dan berdesak-desakan untuk mendapatkan daging qurban. Dengan perjuangan yang keras akhirnya Mai dapat juga bagian daging qurban yang hanya seberat setengah kilogram itu. Ia sangat senang dan bersegera pulang.
            Kira-kira seratus meter ia berjalan di masjid, ia melihat nenek tua menangis. Tubuh nenek itu lemas, bajunya sangat lusuh, Mai pun mendekati nenek tua itu dan menanyakan apa yang sudah terjadi pada nenek itu. Ternyata nenek itu menangis karena tidak kebagian daging qurban. Tak tega melihat nenek tua itu Mai memberikan semua daging yang di dapatnya untuk nenek tua itu. Sebenarnya berat hati untuk memberikan tetapi ia mencoba ikhlas karena mendengar cerita nenek tua itu, yang kehidupannya lebih menyedihkan dari dirinya. Nenek itu mempunyai sembilan orang anak di rumahnya dan mereka belum makan selama dua hari. Dan Mai tersadar bahwa di dalam kesusahannya ada yang lebih susah darinya.
            Kira-kira 10 meter lagi ia sampai ke rumahnya namun kakinya seperti kaku melangkah menuju rumah, karena ia tidak menepati janjinya pada anak-anaknya untuk memasak makanan yang enak hari ini. Namun ia melihat ada sesuatu yang berbeda, ia melihat anak-anaknya sangat girang tak seperti orang kelaparan, dengan rasa penasaran ia terus melangkah menuju rumahnya. Ia sudah sampai di depan rumah, ia sangat terheran melihat anak-anaknya sudah memakai pakaian baru, terlihat satu karung beras di lantai dan sembako begitu banyak. Kemudian pandangannya tertuju ke meja makan ada daging yang sudah masak dan harumnya sangat lezat. Beberapa saat itu ia bengong hingga anaknya menyadarkannya. Lalu ia bertanya pada anaknya siapa yang memberi semua itu. Kemudian anaknya bercerita bahwa tadi mereka didatangi seorang nenek tua dan memberi barang-barang kebutuhan itu semua kepada mereka dan semangkuk daging itu serta amplop yang berisi uang cukup banyak. Maisaroh bersujud bersyukur kepada Allah dan ia baru sadar bahwa nenek yang diberi daging tadi adalah malaikat utusan Allah yang dikirim untuk membantunya.
            Semenjak kejadian itu kehidupan Maisaroh berubah drastis, kini hidupnya sudah kecukupan. Uang yang dititipkan padanya itu dipergunakan untuk modal dagang dan usahanya itu berhasil. Walaupun sudah hidup senang ia tak lupa siapa ia yang dulu. Ia tetap rendah hati dan tak sombong kepada siapa saja. Kini setiap tahun di hari Idul Adha ia selalu berqurban dan selalu bersedekah untuk orang-orang yang kurang mampu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar